Meski kurang dari segi antusias penonton, film negeri 5 menara masih dapat bernafas lega sebagai film yang mendidik dan menghibur. Film yang diangkat dari novel best seller Ahmad Fuadi ini, mengangkat sebuah realita kehidupan yang ada di pesantren. Bagaimana perjuangan seorang anak yang harus rela jauh-jauh masuk ke pesantren yang baginya adalah sebuah pilihan yang sangat sulit.
Review Film Negeri 5 Menara
Film yang diputar tanggal 1 Maret 2012 serentak seluruh Indonesia,
Mungkin yang sudah membaca novelnya sangat menyelami alur cerita dari negeri 5 menara ini. Seru, ada lucunya dan ada nilai-nilai penyemangat serta mendidik. Seperti biasa ketika sebuah film diangkat dari novel, tidak semua alur cerita akan sama. Di film ini, penggambarannya sederhana sekali namun memiliki klimaks di pertengahan dan di akhir film.
Film bersettingkan tahun 80an ini menceritakan tentang seorang remaja asal Padang yang sedang mencari apa yang sebenarnya ia butuhkan. Di awal film penonton disuguhkan pemandangan dan percakapan dengan budaya Sumatra Barat yang kental.
Diceritakan, Alif (Gaza Zubizareta) yang baru saja lulus Sekolah Menengah Pertama memiliki impian untuk menjadi salah satu mahasiswa ITB (Institut Teknologi Bandung) bersama sahabatnya, namun keinginan tersebut ditentang oleh ibunya yang sangat ingin melihat dia belajar di sebuah pesantren ternama di pulau Jawa.
Perang batin dia lalui dalam membuat keputusan masa depan mana yang harus dia pilih, keinginannya atau keinginan ibunya. Sampai akhirnya dia memilih untuk mematuhi keinginan ibunya dengan tetap menyimpan impiannya di dalam hati. Alif bertemu dengan berbagai siswa dari berbagai daerah Said (Ernest Samudra) dari Surabaya, Baso (Billy Sandy) dari Gowa, Atang (Rizki Ramdani) dari Bandung, Raja (jiofani Lubis) dari Medan, dan Dulmajid (Aris Putra) dari Madura, petualanganpun dimulai.
Janji untuk menaklukkan dunia mereka buat, lima negara yang memiliki menara mereka jadikan acuan sebagai janji tanda kesuksesan mereka. Apakah Alif akan berhasil memenuhi tantangan dan janji tersebut kepada teman-temannya? Apakah Alif akan membunuh impiannya demi baktinya kepada ibunya?
Film ini menggambarkan apa yang terjadi pada remaja Indonesia kebanyakan, di mana mereka masih harus ‘mengalah’ dengan apa yang diinginkan orang tua dan mengubur impiannya demi nama berbakti. Apakah Alif bisa mencapai salah satu menara dari kelima menara dengan hati yang setengah?
Ide cerita dari film ini cukup menarik, namun dari sisi penonton yang belum membaca novelnya, saya merasa bosan dengan alur yang terlalu lambat dan banyak adegan-adegan yang kurang penting diletakkan, serta beberapa cast (adik pertama Alif dan teman-teman pesantren tambahan) yang sangat membuat film ini membosankan karena akting mereka tidak maksimal, yah.. meskipun sekedar figuran seharusnya kehadiaran mereka tidak malah membuat yang menonton jadi bosan.
Pemandangan alam yang indah menjadi latar setting yang mampu menghidupkan suasana film ini. Selain itu, kultur masyarakat Indonesia bagian Sumatra sangat ditonjolkan sekali. Yah, tentu adalah sebuah kebanggaan bagi masyrakat yang menonton bahwa kita diajarkan melihat lebih dekat mengenai budaya yang ada.
Satu hal yang perlu digaris bawahi, tidak semua orang tahu bagaimana kehidupan pesantren yang sebenarnya. Di film ini, saya sedikit banyak belajar dan mengetahuinya. Bahkan untuk bisa masuk ke pesantren ternyata harus juga mengikuti tes masuk sama halnya dengan masuk ke Sekolah.
Penonton mulai tertawa ketika ada sebuah adegan dimana Alif yang sedang dipeluk ayahnya yang barusan diterima di pesantren tersebut tiba-tiba rambutnya sudah dipotong. Alif disini digambarkan sebagai remaja yang pemalu dan pendiam. Baginya, masuk ke pesantren adalah pilihan yang salah.
Hadirnya Ikang Fauzi sebagai kiyai di film ini tentu menjadi hal menarik selain beberapa artis baru yang dimasukkan dalam perfilm Indonesia. Filosofi Man Jadda Wajadda seakan menjadi icon di film yang berdurasi 120 menit ini. Hal-hal kecil yang terjadi di sekitar pesantren seperti listik padam mampu menarik tawa dari para penonton. Nggak seru dunk, di film ini tanpa dibumbui panah-panah asmara. Tenang aja. Di film ini wajah cantik si Eriska Rein yang berperan sebagai sarah menjadi tantangan tersendiri bagi Alif dan kawan-kawan. Bahkan, mereka bersepakat jika Alif bisa berfoto bareng dengan Sarah, teman-teman Alif mau mencucikan pakaian Alif selama seminggu.
Penonton yang ada disamping saya tak menahan tawanya ketika beberapa adegan mencuri perhatian mereka. Adegan seperti memperbaiki genset dan membawa tv kedalam pesantren seolah menjadi hal tabu ternyata di film ini, para sahabat Alif bisa mewujudkannya.
Klimaks sebenarnya dari film ini adalah saat Baso yang menjadi orang yang memiliki jiwa pemimpin diantara mereka harus pergi disaat sedang memulai sebuah kegiatan. Karena alasan neneknya yang sakit, ia harus meninggalkan perjuangannya dan sahabat-sahabatnya. Dan ketika acara yang sudah disusun rapi tersebut, kini giliran Alif yang harus bertentangan dengan jiwanya.
Bagaimana akhirnya? sepertinya kalian harus menonton sendiri dan pasti tahu jika udah membaca novelnya. Yang jelas film ini sangat layak di tonton oleh siapapun. Yuk cintai per film-an Indonesia.
Para pemain film Negeri 5 Menara :
Gazza Zubizzaretha sebagai Alif,
Ernest Samudera sebagai Said,
Rizki Ramdani sebagai Atang,
Aris Adnanda Putra sebagai Dulmajid
Billy Sandi, sebagai Baso
iofani Lubis, sebagai Raja.
Eriska Rein, sebagai Sarah
Meirayni Fauziah, sebagai Nissa
Ernest Samudera sebagai Said,
Rizki Ramdani sebagai Atang,
Aris Adnanda Putra sebagai Dulmajid
Billy Sandi, sebagai Baso
iofani Lubis, sebagai Raja.
Eriska Rein, sebagai Sarah
Meirayni Fauziah, sebagai Nissa
Andika Pratama, Lulu Tobing, Donny Alamsyah, David Chalik
Produser : Aoura Lovenson Chandra, Dinna Jasanti Dan Salman Aristo
Produksi : KG PRODUCTION
Sutradara : Affandi Abdul Rachman
Produksi : KG PRODUCTION
Sutradara : Affandi Abdul Rachman
Foto : google